Majalah X-MEDIA edisi XXI-2024

Kembali

Artikel
Arsip Kepegawaian vs Dunia Digital : Memorial, Artefak Pengetahuan, dan Warisan Budaya

Ni Putu Diah Ratih N.P.,S.H.,M.H

Analis SDM Aparatur Muda - Kantor Regional X BKN

Pernah kah kita berimajinasi, bagaimana bila dalam hidup tidak lagi ada dokumen berupa lembar kertas berdimensi? Bila semua telah terganti ke dalam bentuk non-fisik, masih alami kah catatan sejarah dan kisah perjalanan yang sebelumnya tertuang dalam carik?

Memorial dan Warisan Budaya dalam Arsip

“History is the archives of human experiences and the thoughts of past generations;

history is our collective memory.”

Gerda Lerner (Penulis dan Sejarawan)

Seorang seniman, sejarawan, dan penulis wanita dari Amerika Serikat bernama Gerda Lerner pernah mencetuskan sebuah kalimat menarik tentang histori peradaban umat manusia. Menurutnya, sejarah adalah arsip dari sekumpulan pengalaman dan pemikiran generasi masa lalu. Sejarah adalah kenangan kolektif kita semua. Pemikiran tersebut sejalan dengan perkembangan kultur manusia dari masa ke masa, sejak abad kegelapan hingga milenium tiba. Berjuta kejadian penting mewarnai kelebat tumbuh kembangnya bangsa-bangsa di dunia. Berbagai buah seni kreativitas ada dengan keunikannya masing-masing, meski tidak menutup kemungkinan banyaknya kesamaan satu dengan yang lain.

Manusia membentuk kebudayaan sebagai hasil akhir dari upaya bertahan hidup dalam ekosistem yang beragam dan dinamis. Menurut Machmoed Effendhie, seluruh proses kehidupan dan kebudayaan di masa lampau yang terkait dengan memori tersimpan dalam media yang bernama arsip. Dokumen kearsipan tidak hanya pengganti memori, tetapi juga menjadi bukti paling andal untuk mengetahui, memahami, dan menyelidiki masa lalu. Sumber informasi tersebut membawa pesan secara lintas generasi melalui peninggalan berupa perangkat, simbol, dan lambang. Berbagai dokumentasi dan informasi dalam arsip merefleksikan muatan budaya karena ketika tercipta, ia selalu terkait dengan lingkungan budaya tempat arsip tersebut tersimpan.

Warisan budaya dideskripsikan sebagai harta pusaka budaya, baik berwujud maupun tidak berwujud dan bersumber dari masa lampau yang digunakan untuk kehidupan masyarakat sekarang dan kemudian diwariskan kembali untuk generasi yang akan datang secara berkesinambungan atau berkelanjutan. Terdiri dari warisan budaya berupa benda peninggalan manusia yang nyata (tangible) dan warisan budaya tak benda (intangible), kehadiran arsip sebagai wujud dokumentasi memberikan peluang untuk mempelajari nilai kearifan dan pengetahuan untuk mengatasi masalah-masalah yang telah dihadapi di masa lampau. Tidak hanya itu, arsip juga merekam keputusan, tindakan, dan kebijakan dari pemangku kebijakan di masa tertentu. Arsip merupakan sumber informasi yang sah dalam mendukung kegiatan administrasi yang akuntabel dan transparan. Sebagai memorial dan warisan budaya, arsip memainkan peran penting dalam pengembangan masyarakat dengan cara menjaga dan membantu mempertahankan memori individu dan kolektif dalam semua aspek kehidupan dan kelembagaan.

Digitalisasi Arsip Kepegawaian

Salah satu ihwal penting dalam reformasi birokrasi adalah upaya membangun pemerintahan yang dinamis bergerak mengikuti perkembangan jaman. Sejalan dengan hal tersebut, penguatan kebijakan dan infrastruktur Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) telah ditetapkan sebagai faktor krusial dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Salah satu aspek efisiensi adalah pengelolaan arsip secara digital.

Secara umum digitalisasi arsip merupakan hal yang tak terelakkan. Undang-Undang Nomor 43 tahun 2009 tentang Kearsipan mengamanatkan penyelanggaraan kearsipan di lembaga pemerintahan dilakukan dalam suatu sistem penyelenggaraan kearsipan nasional yang komprehensif, terpadu, andal, dan beriringan dengan perkembangan teknologi informasi/komunikasi. Sementara revolusi industri secara konsisten membawa dunia pada sebuah kondisi berbeda, dimana semua hal terkoneksi melalui bahasa algoritma dalam berbagai mesin digital. Dalam konteks pemerintahan, arsip elektronik menjawab kebutuhan tersebut.

Secara umum digitalisasi arsip merupakan proses konversi dari media atau informasi yang tercetak, tertulis, dan/atau digambar dalam bentuk format digital. Tujuan dari digitalisasi adalah untuk melestarikan arsip dan mempertahankan aksesibilitasnya sehingga dapat memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat (Sugiharto dalam Wandari, 2022). Dalam dimensi kepegawaian, arsip adalah kumpulan surat-surat keputusan di bidang kepegawaian yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang disimpan dalam susunan yang teratur dan tertib sehingga dapat ditemukan dan dipergunakan apabila diperlukan. Konversi arsip kepegawaian ke dalam media elektronik melalui prosedur digitalisasi ini adalah salah satu prioritas utama, salah satu alasannya karena mampu meminimalisir risiko bila terjadi keadaan memaksa atau force majeure. Tidak hanya itu, arsip yang telah dialih-media-kan ke dalam bentuk digital meninggalkan cadangan non-fisik, yang memudahkan setiap pemangku kepentingan dalam mengakses, melacak, dan menggunakan dalam setiap keperluan. (Wandari: 2022)

Menurut Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Tata Naskah Kepegawaian Pegawai Negeri Sipil, tata naskah kepegawaian adalah sistem penyimpanan dan pengelolaan dokumen kepegawaian sejak diangkat sebagai Calon PNS/PNS sampai dengan mencapai batas usia pensiun, berupa surat-surat keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang di bidang kepegawaian. Seluruh dokumen tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya dan secara berkesinambungan menjadi bukti autentik dari perjalanan karier dan jabatan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN). Rangkaian prosedur seperti Kenaikan Jabatan, Kenaikan Pangkat, pemenuhan Manajemen Talenta, dan lainnya memerlukan verifikasi terhadap dokumen historical yang dimiliki oleh pegawai ASN yang bersangkutan. Hal tersebut menandakan pengelolaan kepegawaian berkaitan erat dengan histori seorang pegawai sejak pengangkatan pertama hingga berhenti, oleh karenanya keseluruhan dokumen yang mengiringi adalah objek vital dalam pengembangan karier dan jabatan pegawai yang bersangkutan.

Sejalan kebutuhan pemenuhan transformasi digital, selama lebih dari satu dekade, Badan Kepegawaian Negara mengelola tata naskah kepegawaian fisik dan elektronik melalui berbagai kanal dan metode. Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil (PUPNS) yang dilakukan secara gradual, dilanjutkan dengan berbagai upaya sinkronisasi data seperti program Pemutakhiran Data Mandiri (PMD) yang terus menerus diperbaharui. Upaya ini mendukung kompatibilitas antara kebutuhan transformasi digital dan kebutuhan kelengkapan dokumen untuk pengembangan karier pegawai ASN. Pun demikian, di tengah masif nya upaya konversi ke bentuk digital, arsip fisik masih di-retensi karena kandungan unsur intrinsik yang ada di dalamnya. Namun, pertanyaan menarik yang kemudian mengiringi adalah, sejauh mana relevansi dan posisi arsip fisik dalam transformasi digital saat ini? Masih patutkah dokumen dalam bentuk berwujud ini dipertahankan?

Arsip Kepegawaian Digital sebagai Artefak Pengetahuan. Masih kah Relevan?

Menurut Putranto (2017), kehadiran arsip dalam format elektronik menawarkan sejumlah kemudahan dan berbagai peluang yang sebelumnya tidak dimiliki arsip dalam format fisik dalam pengelolaannya. Sebagai contoh, arsip elektronik memerlukan usaha yang lebih sederhana untuk digandakan atau justru dapat dibagi dengan mudah sehingga dapat meminimalisir duplikasi. Arsip elektronik juga memberikan perubahan yang signifikan dalam kemudahan dan kecepatan untuk melakukan proses pengiriman dan berbagi dibandingkan dengan arsip berbentuk fisik. Selain itu, arsip elektronik juga memberikan peluang bagi institusi untuk menghemat ruangan penyimpanan secara fisik sekaligus membuka peluang akses yang lebih ringkas bagi pengguna. Namun, di sisi lain arsip elektronik juga memerlukan tingkat pengelolaan yang memiliki kompleksitas berbeda dibandingkan pengelolaan arsip fisik. Bagi institusi yang tengah melakukan transformasi pengelolaan dari paper-based menuju paperless maupun digital, tentunya hal ini menimbulkan bermacam tantangan tersendiri.

Secara harfiah, artefak adalah semua benda peninggalan manusia pada masa lampau yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya tanpa merusak media fisik lainnya. Terlepas dari tantangan-tantangan yang hadir, arsip kepegawaian sebagai sebuah artefak memuat banyak nilai sejarah tidak hanya terhadap persona pegawai yang bersangkutan, namun juga merekam naik turunnya politik hukum kepegawaian dari masa ke masa. Melalui tata naskah kepegawaian seorang pegawai ASN, dapat diteliti kondisi dan situasi regulasi pada periodisasi waktu tersebut. Dari kaca mata ilmu hukum, harmonis atau disharmoninya produk Tata Usaha Negara dapat disimpulkan lewat dokumentasi yang ada, entah dalam kondisi fisik maupun non-fisik. Bahkan dalam tataran teknis, proses verifikasi usul pengembangan karier kerap membutuhkan ketelitian indra peraba dalam memeriksa keabsahan sebuah dokumen kepegawaian.

Sebagaimana dikutip dari Wakhid (2022), konservasi adalah salah satu bentuk metode treatment dalam melestarikan koleksi perpustakaan agar tetap awet, terjaga, terlindungi, dan berdaya guna. Pengawetan ini dilakukan sebagai upaya perlindungan dokumen dari kerusakan dan kehancuran dengan menggunakan metode fisik. Pada beberapa sektor, preservasi dilakukan untuk mempertahankan unsur jasmaniah dari sebuah dokumen penting. Lalu bagaimana dengan tata naskah kepegawaian?

Pada 2012 Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengeluarkan peraturan bersama tentang pedoman retensi arsip kepegawaian. Jangka waktu simpan setiap jenis arsip baik aktif maupun in-aktif berbeda satu sama lain, bervariasi dari 1 hingga 5 tahun. Setelah melewati masa yang ditetapkan, dokumen tersebut dapat dimusnahkan baik parsial maupun permanen. Secara kasat mata tentu upaya ini sejalan dengan proses digitalisasi sektor publik, karena mendukung konversi arsip menuju rupa elektronik yang lebih transparan dan mudah diakses. Namun bila dipadankan dengan kebutuhan ilmuwan administrasi publik dalam memandang tata naskah kepegawaian sebagai sebuah artefak pengetahuan, upaya konservasi kepustakaan tetap diperlukan.

Nilai sejarah, peninggalan jejak-jejak kebijakan otoritas, dan regulasi periodik terang merupakan unsur penting dalam memahami dinamika hukum kepegawaian di Indonesia. Semua informasi ini hanya bisa diperoleh secara sahih melalui analisa terhadap tata naskah kepegawaian, yang secara alamiah merupakan sebuah benda berwujud. Bagaimana menurut pembaca?

Referensi

Peraturan Perundangan